tirto.id
- Iming-iming harga murah menjadi daya tarik jasa dari para tukang gigi
untuk menarik pasien. Tak sedikit orang yang mengambil risiko kesehatan
yang mengintai di masa depan. Termasuk salah satu selebritas tanah air
yang dikabarkan melakukan veneer di tukang gigi, Jane Shalimar.
Dalam rekam gambar yang diunggah akun Instagram
@veneer_jakarta
pada akhir Januari 2018 lalu tampak Jane duduk di kursi pasien. Ia
berswafoto bersama seorang pria - yang diduga adalah seorang tukang gigi
- sambil sama-sama mengacungkan ibu jari. Foto itu kemudian diunggah
ulang oleh akun edukasi ortodonti
@korbantukanggigi dan jadi viral.
Setelah
mendapat banyak protes dari warganet karena dianggap memberikan contoh
buruk perawatan gigi, Jane angkat bicara. Dalam akun pribadinya,
@jshaz26 ia mengatakan foto tersebut telah disalahgunakan untuk kepentingan promosi si tukang gigi.
“Tempo
hari gigi saya patah, dan teman sy usulkan sy perbaiki patahnya di
tukang gigi dekat rumah krn paginya sy harus ke kalimantan,... mungkin
salah saya yg terlalu baik jd mau aja diminta foto bareng. Lalu salahnya
dimana?” demikian tulis Jane.
Kini semua unggahan tersebut
telah dihapus. Jane juga memberi batasan khusus pada kolom komentar
sehingga warganet tak lagi dapat menulis protes di instagramnya. Jane
mungkin hanya satu contoh pasien dari menjamurnya praktik perawatan di
tukang gigi.
Para tukang gigi ini bertindak layaknya profesional.
Mereka menyediakan layanan orthodonti seperti pemasangan behel dan
veneer. Harga murah menjadi andalan para tukang gigi untuk menarik
pasien.
Suparman, seorang tukang gigi yang praktik di kawasan
Ciputat, Tangerang Selatan sempat bercerita tentang profesi yang telah
ia geluti selama lebih dari 20 tahun. Pak Man, begitu ia dipanggil oleh
para pelanggannya. Ia memungut biaya perawatan gigi seperlima lebih
rendah daripada biaya yang dipatok dokter gigi.
Ia hanya menarik
Rp1 juta untuk pemasangan behel gigi atas dan bawah, selisih jauh
dengan biaya di dokter gigi senilai lebih dari Rp5 juta. Kebanyakan
pasien yang datang ke tempatnya meminta pemasangan gigi palsu dan behel.
Dalam sehari, ia bisa menerima kunjungan tiga hingga lima orang pasien.
“Ini
paling hanya setahun sudah rapi, dikikir saja supaya agak renggang,
nggak perlu cabut,” katanya sambil menyangga mulut seorang perempuan
yang akan dipasang behel.
Sekilas, ruangan praktiknya hampir
menyerupai klinik dokter gigi. Ada sebuah kursi baring berwarna hijau
lengkap dengan lampu sorotnya. Beberapa alat untuk melakukan tindakan
medis, seperti pinset, wadah alumunium, karet behel, kawat, dan sarung
tangan karet juga tergeletak di meja yang ada di samping tempat duduk.
Dokter Memandang Tukang GigiPerawatan
gigi dan mulut yang dilakukan bukan oleh seorang profesional berisiko
kesehatan pada pasien. Sayangnya, tak semua masyarakat memperhatikan
persoalan ini. Permintaan jasa perawatan gigi dengan harga murah masih
menjadi pilihan masyarakat.
drg. Widya Apsari, Sp. PM, spesialis
penyakit mulut memberikan penjelasan risiko perawatan ortodonti yang
dilakukan di tukang gigi. Dari pemakaian behel misalnya, para tukang
gigi tak mengetahui hitungan pasti kekuatan kawat gigi yang dipasang.
Akibatnya, gigi dapat melenceng, bahkan lepas, dan membuat bentuk rahang
jadi tak proporsional.
Lalu pada pemasangan veneer dengan
pengeleman yang tidak tepat, atau langsung menempel akrilik tanpa
melihat masalah gigi lain, seperti ompong atau karang gigi. Tindakan
tersebut bisa mengakibatkan pembengkakan gusi dan infeksi menahun.
“Tidak
tepatnya penanganan dapat terlihat dari bentuk rahang yang miring,
terlihat monyong, atau mulutnya seperti tidak bisa menutup,” kepada
Tirto.Kondisi
tersebut diakibatkan karena metode penanganan singkat dan tak berdasar
yang dilakukan tukang gigi saat melakukan tindakan. Sedangkan untuk
pemasangan behel di dokter gigi terlebih dulu harus melalui
rontgen
dan mencetak gigi. Tujuannya, untuk menemukan struktur gigi ideal yang
ingin dicapai di masa akhir terapi. Di tukang gigi, tahapan ini jelas
dilompati.
“Meski orang awam melihat hasil tukang gigi bagus,
tapi dokter melihat pasien yang sudah ke tukang gigi pasti mengalami
kerusakan,” tukasnya.
Menurut Widya, pasien yang datang ke dokter
gigi seusai dirawat oleh tukang gigi akan lebih sulit ditangani. Jika
sudah begitu, tentu bukan harga murah yang didapat. Mereka justru harus
“nombok” untuk memperbaiki gigi yang rusak akibat ulah tukang gigi.
Dari
sudut pandang praktisi medis, tindakan Tukang Gigi memang dianggap tak
memenuhi kaidah tindakan medis semestinya. Persoalan ini pula yang
menjadi perhatian pemerintah, sehingga mencoba membuat aturan mainnya
terhadap penyelengaraan kegiatan praktik Tukang Gigi.
Jalan Panjang Profesi Tukang GigiPemerintah
memang sudah memberikan ruang praktik terhadap profesi tukang gigi
sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Pendaftaran dan perizinan praktik
tukang gigi diatur Permenkes No. 53/DPK/I/K/1969. Permenkes tersebut
menyatakan bahwa Kemenkes tak lagi menerbitkan izin baru bagi tukang
gigi selain yang telah mendapat izin sejak tahun 1953.Kemenkes beralasan
jumlah dan penyebaran dokter gigi sudah lebih luas dibanding sebelum
1968.
Pemerintah juga menelurkan Permenkes
No.339/MENKES/PER/V/1989 tentang pekerjaan tukang gigi yang mewajibkan
pembaharuan izin untuk jangka waktu tiga tahun dan perpanjangan hingga
usia 65 tahun bagi tukang gigi yang telah teregistrasi.
Untuk
menaungi kedua Permenkes tersebut, dikeluarkan Permenkes No.
1871/MENKES/PER/IX/2011 tentang pencabutan peraturan Permenkes
No.339/MENKES/PER/V/1989, yang otomatis mencabut permenkes sebelumnya.
Aturan yang terbit di tahun 2011 ini kemudian juga merujuk Pasal 73 ayat
2 dan Pasal 78 Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran.
Secara tidak langsung Permenkes yang baru melarang
penggunaan alat dan metode ortodonti selain dokter gigi. Sebab tukang
gigi yang dinaungi pun hanya mereka yang telah mengantongi izin sejak
1953-1969. Singkatnya, sudah tak bisa melakukan praktik-praktik
perawatan gigi dengan baik karena faktor umur sang tukang gigi. Namun,
aturan ini mendapat respons pelaku usaha Tukang Gigi.
Seorang
tukang gigi bernama Hamdani Prayogo menggugat aturan tersebut ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 15 Januari 2013 MK akhirnya mengabulkan
gugatan perkara nomor 40/PUU-X/2012. Amar putusan MK tersebut menelurkan
Permenkes No. 39 Tahun 2014
tentang pembinaan, pengawasan, dan perizinan pekerjaan tukang gigi.
Permenkes ini secara jelas mendefinisikan "Tukang Gigi adalah setiap
orang yang mempunyai kemampuan membuat dan memasang gigi tiruan
lepasan."
Pemerintah tetap memberikan izin praktik tukang gigi,
tapi hanya untuk membuat dan memasang gigi tiruan akrilik lepasan
sebagian atau penuh. Pemasangan gigi tiruan lepasan diatur, dengan tidak
menutupi sisa akar gigi. Tukang gigi juga dilarang: melakukan pekerjaan
selain tukang gigi, mewakilkan pekerjaannya kepada orang lain,
melakukan promosi yang mencantumkan pekerjaan selain sebagai tukang
gigi, dan melakukan pekerjaan secara berpindah-pindah.
Selain
itu, kegiatan praktik tukang gigi tetap dibatasi. Mereka yang masih mau
berpraktik terlebih dulu harus mengantongi izin dari Pemda Kab/Kota atau
Dinkes Kab/Kota setempat.
Tukang gigi yang telah mendapat izin
sebelum putusan ini diterbitkan tetap harus melakukan registrasi ulang.
Izin tukang gigi memiliki masa kadaluarsa hingga dua tahun dan dapat
diperpanjang selama memenuhi syarat. Untuk menerbitkan surat izin,
Dinkes Kab/kota terlebih dulu harus melakukan kunjungan dan verifikasi
data pemohon tukang gigi yang akan berpraktik.
Sayangnya, meski
telah diberi batasan untuk bisa berpraktik membuat dan memasang gigi
akrilik lepasan, tapi di lapangan tak menjamin praktik di luar
kewenangan tukang gigi berjalan sesuai aturan. Pada akhirnya, diserahkan
ke masyarakat agar paham dan sadar saat memilih perawatan ortodonti.