CANBERRA,
(PR).- Seperti di Indonesia, program jaminan kesehatan universal di
Australia pun memiliki keterbatasan. Salah satunya, "BPJS" setempat juga
tak mencakup berbagai masalah gigi.
Biaya yang sangat mahal dan
terbatasnya cakupan asuransi kesehatan nasional menjadi faktor yang
membuat sejumlah warga Australia memilih membereskan gigi mereka di
negara-negara berkembang seperti Thailand dan Kamboja. Pasalnya, tarif
dokter gigi di sana murah.
Salah satu lembaga kajian setempat,
Institut Grattan mendesak pemerintah membuat program jaminan kesehatan
khusus gigi. Diperkirakan, ini akan membutuhkan anggaran sebesar 5,6
miliar dolar Australia per tahunnya.
Dilansir The Guardian, bagi
para pekerja di peternakan sapi di daerah Utara Australia, biaya untuk
pergi ke dokter gigi kini sudah tidak terjangkau. Bahkan ada yang pergi
ke
Kamboja selama tiga hari untuk membereskan masalah giginya.
Pasalnya, jika menunggu layanan "BPJS" setempat, dia harus menunggu
antrian panjang.
Laporan terbaru Institut Grattan menyebutkan
bahwa setiap tahunnya terdapat dua juta penduduk Australia menunda dan
menghindari pergi ke dokter gigi karena biaya yang tidak terjangkau.
Grattan berharap, pemerintah bisa segera menyediakan sistem layanan kesehatan gigi universal tanpa adanya biaya talangan.
Laporan
mengatakan bahwa skema tersebut sebaiknya fokus pada pemeriksaan gigi
dan prosedur intervensi awal. Diperkirakan skema itu akan membebani
pemerintah sekitar 5,6 miliar dolar Australia pertahunnya.
“Ketika
masyarakat Australia butuh pergi ke dokter umum, Medicare menutupi
semua atau sebagian tagihannya. Namun, ketika mereka harus pergi ke
dokter gigi, semua biaya harus mereka sendiri yang mengeluarkan,”
tertulis dalam laporan tersebut.
“Tidak ada alasan medis, ekonomi,
atau hukum yang bisa menyatakan bahwa perawatan untuk mulut dan gigi
itu berbeda dari anggota tubuh lainnya.”
Sebuah anugerah
Warga
Australia, Robert Roehlen (56) mengatakan bahwa skema semacam itu akan
menjadi sebuah anugerah. Ia sendiri memandang dirinya beruntung karena
memiliki dana untuk pergi ke Asia Tenggara dengan tujuan membereskan
beberapa masalah giginya.
“Saya mendapat beberapa tambalan. Banyak
sekali gigi yang dicabut. Semuanya dengan biaya $1.800. Saya tidak
pernah kembali lagi ke dokter gigi, pekerjaannya sangat bagus,” ujarnya.
“Yang
benar-benar saya perhatikan adalah banyaknya orang, terutama pada
generasi dan latar belakang yang sama dengan saya, yang memiliki
kesehatan gigi yang mengerikan. Banyak yang yang hampir tidak memiliki
gigi, dan masalah sosial, makan, dan stigma ikut menyertai mereka,”
ujarnya.
Roehlen mencontohkan, salah satu koleganya memiliki kesehatan oral yang lebih buruk ketimbang dirinya.
“Dia
hampir tidak memiliki gigi lagi. Tidak ada yang bisa memahaminya karena
mulutnya sudah berubah bentuk dan dia kesusahan sekali ketika makan,”
kata Roehlen.
“Coba pergi ke tempat minum untuk para pekerja kerah
biru dimana saja, dan lihat para pria dan wanita berumur disana. Nanti
akan terlihat jelas ada yang salah. Anda mungkin tidak akan kaget jika
itu terjadi di negara-negara dunia ketiga, tapi seharusnya di sini hal
itu tidak terjadi, kan?”
Laporan dari lembaga mengatakan bahwa
orang dewasa dengan penghasilan rendah rata-rata memiliki lebih sedikit
gigi dibanding mereka dengan penghasilan yang lebih tinggi.
“Rata-rata,
mereka yang pendapatan rumah tangganya dibawah 30.000 dolar Australia
(Rp 310 juta) per tahun kehilangan 8,6 gigi. Sementara mereka dengan
pendapatan rumah tangga iatas 140.000 dolar Australia (Rp 1,4 miliar)
per tahun hanya kehilangan 3.2 gigi.”***