Dampak Serius Sakit Gigi pada Anak
Nabilla Tashandra Kompas.com - 20/03/2019, 20:11 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Sakit gigi,
terutama gigi berlubang, merupakan salah satu penyakit yang paling banyak
dialami di seluruh dunia. Tak terkecuali pada usia anak.
Di Indonesia sendiri,
angka anak yang mengakami sakit gigi per tahunnya mencapai lebih dari 50
persen.
Angka tersebut didapatkan dari hasil survei global yang dilakukan oleh
Pepsodent 2018 lalu di delapan negara. Negara yang disurvei antara lain Chili,
Mesir, Perancis, Italia, Indonesia, Amerika Serikat, Ghana, dan Vietnam.
Sebanyak 4.094 anak usia 6-17 tahun dan orangtua mereka terlibat dalam survei
ini. Di Indonesia, survei dilakukan terhadap 506 anak.
Drg. Ratu Mirah Afifah,
GCClinDent., MDSc yang juga Division Head for Health & Wellbeing and
Professional Institutions Yayasan Unilever Indonesia menyebutkan, jumlah anak
Indonesia yang mengalami keluhan sakit gigi selama satu tahun terakhir mencapai
64 persen.
"Dari 64 persen, ternyata 41 persennya sakit gigi sedang
(moderat) sampai sakit sekali," kata Mirah dalam konferensi pers di kawasan
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2019).
Walau kerap disepelekan, sakit gigi memberi sejumlah
dampak negatif bagi kehidupan anak, tak hanya dari segi kesehatan. Apa saja
dampaknya?
1. Prestasi anak di sekolah Akibat sakit gigi, 37 persen anak tidak
bisa masuk sekolah dengan jumlah absen rata-rata dua hari per anak dalam
setahun.
Sakit gigi juga membuat 29 persen anak-anak mengalami kesulitan tidur.
Pada akhirnya, kondisi ini memengaruhi prestasi anak di sekolah.
"Survei
ini menunjukkan bahwa ada hidden impact (dampak tak terlihat) yang selama ini
belum disadari bahwa dampaknya lebih dari kesehatan gigi dan mulut atau
kesehatan tubuh secara general," ucap Mirah.
Sikat gigi siswa dan siswi
SDN Negeri Gunung 01, Jakarta Selatan. Sikat gigi siswa dan siswi SDN Negeri
Gunung 01, Jakarta Selatan.(KOMPAS.com/Nabilla Tashandra)
2. Kepercayaan diri
Hal lainnya yang menjadi dampak sakit gigi adalah kepercayaan diri. Ternyata,
anak yang mengalami sakit gigi dua kali lebih rentan mengalami krisis
kepercayaan diri dan lebih sulit bersosialisasi.
"Dibandingkan anak-anak
yang tidak punya masalah gigi dan mulut, ini ternyata sangat memengaruhi
bagaimana mereka melihat diri mereka," kata Mirah.
Hal senada diungkapkan
psikolog anak dan keluarga Ayoe Sutomo. Menurutnya, ada sejumlah faktor yang
memengaruhi kepercayaan diri seseorang. Salah satunya adalah kondisi fisik,
termasuk kesehatan gigi.
Individu yang memiliki kenyamanan fisik serta merasa kondisi fisiknya
baik cenderung mendapatkan kepercayaan diri yang juga baik.
"Kalau nyaman
secara fisik, kesehatan baik, maka dia akan merasa lebih mampu menghadapi
tantangan dan tugas-tugas. Tidak hanya saat anak, tapi terbawa hingga dewasa
untuk sukses dan mengoptimalisasi potensi yang dimiliki," ucapnya.
Sementara individu yang kepecayaan dirinya rendah cenderung pesimis dan tidak
berani menghadapi tantangan hidup.
Padahal, optimisme sangat dibutuhkan untuk
maju dan mengambil setiap kesempatan yang datang.
Dengan begitu, anak bisa
membuktikan dirinya bisa dan meningkatkan lagi kepercayaan dirinya.
"Bayangkan kalau sakit gigi ini memengaruhi self esteem, lalu datang
kesempatan tapi terpaksa hilang karena sakit gigi. Kalau terjadi berulang kali
tentu akan berpengaruh terhadap dewasa nanti," tuturnya.
Survei
Pepsodent menunjukkan bahwa hanya 21 persen anak yang diajak orangtuanya
memeriksakan gigi ke dokter minimal enam bulan sekali.
Dari 79 persen anak yang
tidak rutin memeriksakan gigi ke dokter, 70 persennya mengalami sakit gigi.
Untuk mencegah terjadinya masalah gigi, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
di dokter gigi setidaknya dua kali setahun atau enam bulan sekali.
Orangtua juga
diharapkan mampu mengingatkan anak dan menanamkan kebiasaan gosok gigi dua kali
sehari sejak dini.
Sikat gigi tentunya juga harus dilakukan dengan cara yang
benar.
"Karena tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan di rongga mulut
dan tubuh saja, mata orangtua, anak dan stakeholder harus terbuka bahwa ada
efek-efek lain yang dampaknya jauh lebih besar," kata Mirah.